oleh: Dr. Khoirul Anwar, M. Ag (Dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang)
SATU di antara bukti tak terbantahkan tentang peran kiai dan santri dalam kemerdekaan bangsa ini yaitu banyaknya kiai dan santri yang menjadi anggota Pembela Tanah Air (Peta), kekuatan militer suka rela Indonesia yang dibentuk Jepang tahun 1943 dalam rangka mengantisipasi kedatangan tentara sekutu (Martin, 1994).
Memang Peta tidak hanya beranggotakan para kiai dan santri, tapi semua anak bangsa dari berbagai kalangan turut serta terlibat di dalamnya. Hanya saja, tentara Jepang yang sejak menduduki Indonesia bersikap akomodatif terhadap kepentingan umat Islam, pihak Jepang lebih memilih para kiai untuk menjadi anggota Peta dengan alasan memiliki pengaruh besar dan mengakar di masyarakat.
Selain Peta, tentara suka rela yang diberi nama Hizbullah yang hanya melibatkan umat Islam juga banyak diisi kiai dan santri. Demikian juga dengan pasukan Sabilillah yang hampir semua anggotanya berisi para kiai dan santri dari berbagai pesantren dan pedesaan.
Para tentara suka rela dari kalangan pesantren melakukan perlawanan terhadap penjajah secara terang-terangan dan keras dimulai sejak sekutu hendak mengambil alih negara ini beberapa minggu setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada pertengahan Oktober 1945 beberapa wilayah seperti Bandung, Semarang, dan kota-kota lain di Jawa telah kembali direbut oleh tentara Jepang dan diserahkan kepada pasukan Inggris, sementara Pemerintah Republik seakan diam tanpa melakukan perlawanan secara terang-terangan.
Resolusi Jihad
Berbeda dengan sikap pemerintah yang masih menahan diri dari perlawanan secara terbuka, para kiai dan santri langsung mengambil sikap secara tegas untuk melawan penjajah melalui deklarasi Resolusi Jihad yang terjadi pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945.
Resolusi Jihad atau perang suci melawan penjajah yang digelorakan para kiai dan santri itu menjadi kekuatan yang luar biasa dalam perang 10 November 1945. Martin Van Bruinessen (1994), peneliti asal Belanda yang banyak menulis tentang pesantren dan NU, menyatakan, dalam perang yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan itu telah melibatkan banyak kiai dan santri. Bahkan Bung Tomo sendiri yang menggerakkan massa melalui pidatonya di radio sebelum perang berlangsung telah meminta nasihat kepada pendiri NU, yakni Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947).
Paku di Rumah Mewah
Di atas bagian dari serpihan sejarah keterlibatan kiai, santri, dan masyarakat pesantren dalam perjuangan melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Kendati segenap tumpah darah telah dikorbankan, namun dalam perjalanan sejarahnya, setelah bangsa ini benar-benar merdeka para kiai dan santri hanya diberi ruang mengurus Departemen Agama.
Tentu banyak kiai dan santri yang menyayangkan akan sikap pemerintah yang dianggap tidak memberikan ruang pengabdian kepada negara yang lebih luas dibanding perannya yang telah mengorbankan segenap jiwa dan raga demi mempertahankan kemerdekaan bangsa ini, tapi rasa ikhlas yang dimiliki kiai dan santri dapat menghilangkan kekecewaannya.
Para kiai dan santri, meminjam istilah pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri Almaghfurlah KH. Abdul Karim (w. 1954), ibarat paku di dalam bangunan rumah. Semua orang yang membangun rumah pasti akan mencari dan menggunakan manfaat paku, tapi ketika rumah itu jadi, orang tidak akan pernah bertanya paku apa yang ia pakai, atau mendapatkan paku dari mana yang menjadikan kayu-kayu di rumahnya bisa dipersatukan meski saling berhadap-hadapan.
Hari Santri
Kiai dan santri di masyarakat menjadi agen perdamaian yang mempersatukan semua anggota masyarakat dengan beragam latar belakang sosial, ekonomi, politik, dan kepentingannya. Keberadaannya dicari di saat kondisi sosial bergejolak, juga selalu didatangi oleh orang-orang yang berkepentingan menggait banyak massa dan membangun citra dalam kontestasi pileg, pilkada, pilpres, dan yang lainnya, namun posisinya yang telah berhasil mengantarkan kondisi sosial menjadi baik, berbagai kepentingan orang yang datang terpenuhi, kiai dan santri kerap dilupakan.
Peran kiai dan santri dalam membangun “rumah mewah” bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat besar, namun dalam perjalanan sejarah bangsa ini pasca kemerdekaan keberadaannya kerap disingkirkan atau tidak diberi ruang yang lebih besar untuk terus memberikan pengabdian kepada negara.
Sejak Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional pada tahun 2015 lalu, para peneliti, sarjana, pegiat sejarah, dan masyarakat secara umum baru mulai mengetahui betapa besarnya peran kiai dan santri dalam perjuangan mempertahankan keutuhan bangsa ini sejak masa penjajahan hingga masa sekarang dan mendatang.
Pada hari-hari ini dan yang akan datang menjelang Pemilu 2024 diselenggarkan bangsa ini dirundung rasa kekhawatiran akan perpecahan yang terjadi di dalam masyarakat. Di sini, para kiai dan santri selalu diharapkan untuk tetap menjadi garda terdepan di dalam mempersatukan semua anak bangsa yang beraneka ragam kepentingannya dengan tetap menjadi “juru damai” atau “paku” yang akan merekatkan kembali semua lapisan masyarakat setelah terpecah belah yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan di dalam pilihan politik. Inilah bagian dari jihad kiai dan santri yang selalu berkorban untuk keutuhan dan keselamatan negeri. Selamat Hari Santri. (*)