Oleh Dr Tedi Kholiludin, Staf Pengajar Program Pascasarjana Universitas Wahid Hasyim Semarang, Pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Tengah
SEJARAH sosial pesantren, seperti kita tilik dalam perkembangannya, menggambarkan dengan jelas bagaimana pesantren mewujud sebagai institusi yang dinamis.
Eksistensinya terkait erat dengan perkembangan dan pertumbuhan sebuah masyarakat.
Meski demikian arus perubahan yang terus menerus terjadi, mengharuskan pesantren untuk terus menjadi organ yang peka terhadap cepatnya arus perubahan sosial.
Saya bermaksud menuangkan ide-ide sederhana yang berkeliaran tentang apa dan bagaimana pesantren dalam mengimbangi laju perubahan sosial ini.
Tentu saja ini adalah gambaran yang sangat subjektif, sehingga akan menjadi bahan yang menarik jika kemudian ada respon kritis dari mereka yang memiliki perhatian terhadap institusi pendidikan tertua di nusantara ini.
Tak hanya memerankan diri sebagai lembaga di level normatif-edukatif pesantren juga memiliki fungsi sosial.
Secara normatif, pesantren memiliki tanggungjawab sebagai lembaga pendidikan agama. Pesantren menjadi tempat dimana santri dibekali ilmu agama.
Meski begitu, penanaman nilai-nilai agama yang dilakukan di pesantren tidak berhenti pada aspek kognitif semata.
Jauh dari itu, pesantren mengajak para santrinya untuk menghayati serta mempraktikkan apa yang mereka dapatkan untuk kemudian dimanifestasikan dalam kehidupan keseharian.
Transformasi kultural dan sosial terus menerus dilakukan. Meski sebagian kalangan menganggap bahwa lembaga ini dirasa tidak mampu bergerak mengikuti perkembangan zaman, tapi nyatanya produk pesantren menunjukkan kenyataan sebaliknya.
Naiknya KH. Abdurrahman Wahid menjadi presiden adalah tinanda yang tak bisa dibantahkan tentang kontribusi pesantren dalam level sosial, juga politik.
Dalam konteks ini, diakui atau tidak, pesantren sejatinya adalah lembaga pendidikan yang berperan melakukan kerja-kerja pemberdayaan.
Tak hanya itu, pesantren pun digadang sebagai motor untuk segala proses perubahan sosial.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, inspirasi kehidupan sosial mestilah bersumber dari nilai-nilai moral atau religi. Disinilah pesantren bisa memosisikan diri.
Peran agama dalam wilayah publik berarti menjadikannya sebagai inspirasi untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
Idealitas inilah memiliki relevansinya dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Kita tentu ingat bagaimana barisan santri (serta elemen bangsa Indonesia lainnya) berkomitmen untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Secara fisik, pesantren memang tak bisa melepaskan diri dari lingkungan sekitar. Pesantren adalah institusi sosial yang hidup diantara institusi lainnya.
Karena kehidupan pesantren yang berada di jantung masyarakat (meski dibatasi oleh aturan internal tentu saja), maka degupnya tak pernah keluar dari konteks.
Pesantren tetap eksis sekaligus menahbiskan dirinya sebagai basis pertahanan kultural sekaligus melanjutkannya dengan proses transformasi sosial. Tak heran jika dengan pola itu, nilai-nilai pesantren tetap hidup dan tak lekang.
Mengutip Abdurrahman Wahid (2001), pesantren adalah sebuah sub kultur yang mempunyai dua tanggung jawab secara bersamaan.
Pertama adalah lembaga pendidikan agama Islam. Kedua sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial.
Untuk dapat disebut sub kultur pesantren harus mempunyai beberapa aspek berikut yakni eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola kehidupan umum di negeri ini.
Selain itu terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren, berlangsungnya proses pembentukan tata nilai yang tersendiri dalam pesantren, lengkap dengan simbol-simbolnya.
Juga adanya daya tarik keluar, sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang ada di masyarakat itu sendiri.
Serta berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi dengan masyarakat di luarnya, yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal di terima kedua belah pihak (Wahid,2001:2-3).
Meski begitu, dalam praktiknya, pesantren selalu dinamis, pesantren dalam gambaran total, memperlihatkan dirinya seperti sebuah parameter, suatu faktor yang secara tebal mewarnai kehidupan kelompok masyarakat luas. (Raharjo, 1995:1).
Peran almaghfurlah KH. Sahal Makhfudh adalah fakta yang menarik untuk dicermati. Upaya Kiai Sahal menerjemahkan ajaran Islam untuk melakukan pemberdayaan umat melalui pesantren sebagai agennya adalah contoh nyata bagaimana dunia pesantren (kiai, santri dan ustadz) memainkan peran sentralnya.
Singkat kata, seraya mengamini Geertz (1979), saya melihat pesantren memang dengan sangat baik telah memerankan dirinya sebagai agen perubahan sosial.
Pesantren berperan sebagai pialang budaya, sebagai penyaring arus informasi yang masuk ke masyarakat, menularkan yang berguna dan menyingkirkan yang dianggap merusak.
Di samping itu pesantren dengan caranya sendiri telah mampu berperan sebagai pelopor perubahan itu sendiri, bukan sekedar melakukan penyaringan informasi (Hirokoshi, 1987).
Dalam situasi dimana perubahan (sosial dan politik) terus menerus tuntutan untuk bisa beradaptasi dengan kondisi kekinian adalah prasyarat yang mesti ditunaikan.
Seperti kita simak sekarang, banyak kebijakan pemerintah yang mulai mendudukkan pesantren didalamnya.
Ada politik pengakuan yang betapapun belum ideal, tapi patut kita apresiasi dan memanfaatkan peluang itu seoptimal mungkin.
Sisi lain, kita melihat bahwa banyak pesantren yang tak hanya mendirikan sekolah atau madrasah di lingkungannya, tapi juga perguruan tinggi.
Santri di pesantren tidak sekadar membaca dan mengkaji kitab kuning, tetapi juga kitab putih.
Demikianlah salah satu respon yang cerdas dari institusi pesantren yang menunjukkan betapa pentingnya merespon dengan baik perkembangan zaman tanpa menghilangkan nilai-nilai yang menjadi ruh dari institusi tersebut.
Tantangan pesantren saat ini sesungguhnya banyak mewujud dalam aspek yang bersifat mikroskopis.
Di era yang serba digital ini, setiap orang memiliki kesempatan untuk mencari jawaban atas apa yang menurutnya problematis, termasuk agama. Jawaban itu mereka dapatkan dari mesin pencari.
Dari mesin pencari itulah mereka mendapatkan jawaban, yang sebagian diantaranya bukan berasal dari sumber otoritatif.
Bagi yang terbiasa mengaji kepada kyai di pesantren, fenomena ini tentu sangat mengkhawatirkan.
Otoritas dan sanad keilmuan menjadi tidak lagi dipertimbangkan. Situasi inilah yang mau tidak mau, mengharuskan warga pesantren, untuk menguasai teknologi informasi untuk kemudian menjadi saluran dakwah Islam yang moderat, toleran dan sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan.
Inilah salah satu hal penting untuk segera dikerjakan oleh pesantren.
Saya ingin menutup tulisan ringkas ini dengan mengutip KH. Saifuddin Zuhri dalam “Berangkat dari Pesantren” yang barangkali bisa menjadi bahan bagi siapa saja yang melihat pesantren sebagai sumber inspirasi.
Alam pesantren adalah duniaku, alam yang menempa jiwa, melukis jalan pikiran dan memahat cita-citaku. Tentu aku ibarat sungai kecil yang hendak bermuara memasuki lautan luas yang bergelombang.
Akan tetapi, jika sungai kecil itu berjumlah ratusan, apalagi diantaranya ada juga sungai-sungai besar, lantas semuanya bermuara ke lautan yang satu, sungai-sungai itu akan membuat warna lautan serta membentuk dasarnya.