Oleh: Ali Romdhoni, MA. (Dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang)
Sebelum akhirnya jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Malaka adalah kota pelabuhan dengan manajemen terbaik di dunia.
Malaka digambarkan sebagai kota bandar paling kaya, dengan jumlah saudagar terbesar serta lalu lintas kapal perdagangan super sibuk.
Kemegahan kota pelabuhan Malaka kala itu sampai memunculkan ungkapan, siapa yang menjadi tuan di Malaka perdagangan Asia berada di tangannya.
Bagaimana Eropa melihat posisi Malaka pada abad ke-15 terwakili oleh kesaksian Duarte Barbosa (1480-1521 M), seorang penulis dan penjelajah berkebangsaan Portugis. Barbosa menulis, “…Malaka adalah pelabuhan terkaya, dengan jumlah grosir terbesar dan pengiriman terbanyak di seluruh dunia. Dalam waktu kurang dari satu abad, Malaka menjadi pelabuhan yang sibuk, dan ibu kota seorang sultan yang dihormati oleh para penguasa di Asia”.
Kota Malaka berada di Pantai Barat Semenanjung Melayu dan di tengah Selat Malaka.
Pelabuhan Malaka terletak di antara Samudera Hindia dan Laut China Selatan serta Laut Jawa.
Malaka juga menjadi kekuatan maritim di Samudera Hindia.
Selain pengelolaan yang baik, faktor kunci kebesaran pelabuhan Malaka adalah keberadaan Selat Malaka.
Selat ini menjadi jalur transportasi laut paling sibuk di dunia, sebagai saluran utama untuk pergerakan kargo dan lalu lintas manusia antara kawasan Indo-Eropa dan seluruh Asia, serta Australia.
Jalur Selat Malaka memiliki rute laut Timur-Barat paling pendek dibandingkan Selat Makasar dan Lombok di Indonesia hari ini.
Pelabuhan Malaka dibangun oleh Kesultanan Melayu pada tahun 1405 dan akhirnya menjadi pusat perdagangan dan penyambung dunia Islam.
Pada puncak kekuasaan Islam di Malaka, Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M) memiliki projek untuk meneguhkan Malaka sebagai Mekah baru.
Menurut hasil kajian yang saya lakukan, projek Mahmud Syah tidak lain menjadikan Malaka sebagai salah satu pusat keislaman di dunia.
Malaka dengan masyarakat Muslim, para ulama di dalamnya, serta tersedianya sarana dan sumberdaya yang dibutuhkan oleh para siswa untuk mempelajari agama Islam.
Malaka berhasil menjadi pusat perdagangan dan pertemuan orang-orang dari berbagai negara di dunia.
Salah satu jaringan perdagangan dunia yang meramaikan Pelabuhan Malaka adalah kaum saudagar Muslim dari Pasai dan Gujarat.
Selain datang untuk berdagang, kaum saudagar Muslim mengenalkan Islam kepada orang-orang di Malaka.
Kitab Sulalatus Salatin Sejarah Melayu menceritakan seorang ulama dari negeri Jedah (Arab) benama Maulana Abu Ishak.
Dia seorang sufi yang selalu menjaga air wudhunya (dalam keadaan suci dari hadas).
Abu Ishak menulis kitab Dur Al-Madzlum, dan seorang muridnya, Maulana Abu Bakar, yang kemudian disuruh pergi ke Malaka untuk mengajarkan kitab Dur Al-Mazhlum.
Sultan Mansur Syah (1456-1477 M), raja ketujuh Kesultanan Malaka menerima kedatangan murid Abu Ishak. Sultan memerintahkan keluarga, pembesar, dan para ulama istana untuk belajar Islam pada Maulana Abu Bakar. Sultan sendiri bersama ulama kerajaan yang bernama Qadhi Yusuf dan Qadhi Munawar juga ikut belajar pada Abu Bakar.
Keterangan dari kitab Sulalatus Salatin di atas bisa menjadi petunjuk bahwa para ulama di wilayah Arab sudah mengetahui keberadaan Malaka sebagai pusat Islam. Hubungan komunikasi antara pusat-pusat Islam di Arab dengan Malaka juga terjalin dengan baik.
Malaka tidak sendirian dalam menyebarkan Islam di wilayah Nusantara. Para ulama dan raja-raja dari Kesultanan Demak Bintara di Jawa juga berperan penting dalam kerja-kerja menyebarkan Islam di Nusantara.
Kerjasama Malaka dan Demak Bintara inilah yang menjadi kunci bagi penyebaran Islam di Nusantara.
Malaka menyiarkan Islam kepada orang-orang yang datang dan singgah di kota itu, adapun Jawa menyebarkan dengan lebih luas lagi ke wilayah-wilayah di bagian timur kepulauan Nusantara, seperti Banjar, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Keberadaan para ulama di Malaka mengundang para ahli agama dan peminat kajian Islam dari wilayah Nusantara datang ke Malaka, seperti Sunan Bonang dan Sunan Giri.
Sultan Mahmud Syah menyaksikan kehadiran Sunan Bonang dan Sunan Giri di Malaka, dan mengetahui bahwa yang datang adalah seorang wali mashur di Jawa.
Karena jaraknya yang lebih dekat, orang-orang dari Jawa dan sekelilingnya lebih memilih belajar Islam ke Malaka, tidak ke Pasai. Tak hanya ulama, para sultan juga berkunjung dan belajar Islam ke Malaka.
Sultan Abidin dari Ternate setelah tamat belajar di pesantren Giri juga mengunjungi Malaka, pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1488 M).
Historiografi Jawa menceritakan bahwa Maulana Ishaq juga tinggal di Malaka dalam waktu yang lama.
Maulana Ishaq adalah ayah Sunan Giri. Maulana Ishaq berasal dari negeri Champa (kini Vietnam).
Kitab Babad Tanah Djawi memberitakan, satu hari Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dan Raden Ibrahim (Sunan Bonang) putra Sunan Ampel bermaksud pergi ke Mekah untuk belajar Islam. Perjalanan dari Ampel (kini Surabaya, Indonesia) menuju Mekah ditempuh dengan terlebih dulu singgah di Malaka. Mereka berdua menemui Maulana Ishaq yang tinggal di Malaka.
Raden Paku dan Raden Ibrahim tinggal di Malaka selama setahun, belajar keislaman pada Maulana Ishaq.
Raden Paku dan Raden Ibrahim berpamitan untuk meneruskan perjalanan ke Mekah. Maulana Ishaq tidak berkenan, dan menyarankan anak dan kemenakannya pulang ke Jawa dan belajar kepada Sayid Rahmat di pesantren Ampeldenta.
Kisah di atas menjadi bukti adanya interaksi orang-orang dari Demak Bintara dengan para ulama di Malaka dan Champa, serta terhubung ulama-ulama di Arab.
Di Jawa, Sunan Ampel juga menjadi rujukan bagi para pengkaji Islam dan Muslim pendatang dari berbagai daerah, termasuk dari wilayah Arab.
Interaksi para ulama pada masa Kesultanan Malaka dan Demak Bintara pada akhirnya melahirkan umat Islam di Nusantara Jawa dan Melayu.
Meskipun jejak kemajuan Islam di Malaka abad ke-15 dihancurkan oleh Portugis, namun kondisi masyarakat Nusantara hari ini yang mayoritas beragama Islam: Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darussalam.
Fakta sejarah di atas menarik untuk dicermati, terlebih dalam hubungannya dengan perdebatan nasab dan asal-usul para pembawa ajaran Islam di Indonesia.
Jangan salah mengerti, pada abad ke-15 wilayah Nusantara telah menjadi pusat Islam, dan mengundang komunitas muslim dari berbagai negara di dunia untuk belajar dan menetap di dalamnya.