oleh: Dr. Khoirul Anwar, M. Ag
ALKISAH, ada seorang sahabat Nabi Muhammad SAW sedang mendekati ajal kematian. Kepada sahabat yang sedang nazak itu, Nabi SAW bertanya: Bagaimana kondisimu? Ia menjawab: Aku merasa takut akan dosa-dosaku, tapi aku berharap mendapatkan rahmat atau kasih sayang dari Allah.
Mendengar jawaban di atas, Nabi SAW bersabda: “Jika dalam diri seseorang memiliki dua perasaan sekaligus, yakni rasa takut akan banyaknya dosa (khauf) dan rasa pengharapan akan rahmat Allah (raja’), maka ia akan dipenuhi harapannya, dan akan dihindarkan dari hal-hal yang ditakuti.”
Setiap orang pasti memiliki dosa, bahkan di antaranya ada yang merasa sepanjang hidupnya hanya digunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang jauh dari agama atau maksiat.
Orang yang berlumuran dosa kerap merasa terlanjur, yakni enggan mengakhiri perbuatannya karena merasa jika berhenti dan bertaubat hanya sia-sia belaka, tidak akan diterima oleh Allah.
Perasaan demikian salah, karena rahmat Allah begitu luas, pintu ampunan Allah terbuka dengan sangat lebar.
Pun sebaliknya, sebagian orang merasa rahmat Allah begitu luas, Allah Maha Mengampuni semua kesalahan hamba-hambanya, tapi dalam waktu bersamaan ia terus melakukan perbuatan-perbuatan dosa dengan harapan segala kesalahannya akan diampuni oleh Allah.
Sikap demikian juga salah, karena antara harapan dan tindakannya jauh panggang dari api.
Dua sikap di atas sama-sama tidak bijaksana. Melalui hadis di atas, Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa sebagai manusia tidak boleh putus asa akan rahmat dan ampunan Allah, tapi dalam waktu bersamaan harus menunjukkan perilaku-perilaku yang mencerminkan harapan akan mendapatkan kasih sayang Allah.
Bukan sikap yang bijaksana jika seseorang mengharapkan ampunan Allah, tapi perilakunya justru berkebalikan, yakni menjauh dari kasih sayang-Nya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang nista. Karena itu harapan akan kasih sayang Allah harus disertai dengan tindakan yang baik.
Berhenti Pesimis dan Arogan
Sebagian orang yang merasa dirinya telah banyak melakukan perbuatan dosa lalu bertaubat atau dalam istilah yang berkembang belakangan “hijrah” seringkali melakukan cara-cara penghapusan dosanya dengan melakukan tindakan-tindakan yang justru menambah dosa itu sendiri.
Misalnya, dengan memutus tali persaudaraan, melukai atau meneror orang-orang yang berbeda agama atau beda paham dengannya, merusak hak properti orang lain, dan yang lainnya.
Sikap demikian tidak lebih dari rasa pesimis akan kasih sayang dan ampunan Allah.
Dalam Islam penghapusan dosa atau bertaubat cukup dengan meninggalkan atau menghentikan perbuatan dosanya, lalu meminta ampunan kepada Allah, dan menjalankan aktivitas lain yang lebih positif, bukan dengan melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan dirinya dan orang lain. Beragama dengan pesimis akan ampunan Allah sama dengan mengingkari akan kasih sayang Tuhan yang Maha Pemurah.
Sebaliknya, ada di antara sebagian orang yang merasa sangat taat di dalam menjalankan ajaran-ajaran agama, lalu dengan mudahnya merasa amal kebajikannya sudah cukup menyelamatkannya kelak di hari kiamat.
Pandangan demikian bagian dari beragama secara arogan, karena apa artinya merasa banyak melakukan ibadah tapi tidak punya perasaan akan tidak diterimanya amal, juga tidak meyakini bahwa amal tanpa disertai dengan harapan akan mendapatkan rahmat Allah hanya sia-sia belaka.
Karena itu dibutuhkan sikap yang moderat di dalam mengharapkan rahmat dan ampunan Allah, yakni beramal saleh dengan tetap mengharapkan ridla, ampunan, dan kasih sayang dari Allah SWT, serta merasa khawatir jika saja amalnya tidak diterima oleh-Nya.
Dengan demikian seseorang beribadah tapi dalam waktu bersamaan penuh dengan rasa tawadlu’ atau rendah hati.
Dalam salah satu syair dikatakan: “Engkau berharap keselamatan, tapi engkau tidak menempuh jalan yang benar.
Sesungguhnya perahu tak bisa berjalan di atas tanah kering”.
Syair ini mengandung pesan bahwa harapan akan rahmat dan kasih sayang Allah harus ditempuh dengan jalan yang benar, yaitu dengan melakukan amal saleh. (*)