Oleh: Dr Khoirul Anwar, (Dosen Universitas Wahid Hasyim)
TANGGAL 22 Oktober yang diperingati sebagai Hari Santri Nasional memiliki peristiwa sejarah yang sangat penting bagi keberlangsungan kemerdekaan bangsa ini.
Pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945 para kiai dan santri berkumpul di Surabaya di bawah pimpinan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari melakukan deklarasi Resolusi Jihad, yakni gerakan perang suci melawan penjajah.
Peristiwa yang menjadi salah satu bukti keterlibatan para kiai dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa ini bagian dari ejawantah paham nasionalisme yang dimiliki kiai dan santri.
Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 dunia Islam di berbagai wilayah sedang menghadapi berbagai problematika kebangsaan.
Pasca Khilafah Utsmani tumbang, para sarjana Arab menyerukan kesatuan bangsa Arab atau nasionalisme Arab dalam rangka merebut Khilafah Utsmaniyah, sementara umat Islam Turki dan di beberapa wilayah lain menolak paham nasionalisme dengan tuduhan sebagai paham yang sengaja dibawa Inggris untuk menghancurkan sistem khilafah.
Nasionalisme Arab lebih berkepentingan untuk menegaskan bahwa yang berhak membangun khilafah adalah bangsa Arab sebagaimana sejarah awal khilafah sendiri.
Penolak nasionalisme lebih mengedepankan pada sisi solidaritas umat Islam di berbagai dunia untuk bersatu melawan kolonialis Barat dan mengutuk bangsa Arab yang bersekutu dengan Inggris dan Prancis.
Penganut nasionalisme Arab (‘ashabiyyah qaumiyah) dan penentangnya (Pan Islamisme) tidak bertemu karena sama-sama memiliki sikap yang berlebihan. Nasionalisme Arab lahir dari perasaan sebagai pihak yang paling berhak mendirikan khilafah dan memandang rendah bangsa lainnya.
Penolak nasionalisme juga menganggap semua umat Islam yang berkawan dengan Barat tidak lebih dari perusak Islam itu sendiri, dalam hal ini tertuduh sebagai bagian dari kelompok yang turut serta menumbangkan sistem khilafah.
Kondisi dunia Islam pasca tumbangnya Khilafah Utsmaniyah menjadi garis pembatas antara pemikiran politik Islam kontemporer dengan pemikiran politik Islam klasik. Salah satu tema yang mengemuka dalam diskursus pemikiran politik Islam kontemporer yaitu tentang nasionalisme.
Di sini nasionalisme santri sebagai produk pemikiran Islam Indonesia patut dimunculkan sebagai bagian dari kontribusi pemikiran politik Islam kontemporer dari Indonesia.
Nasionalisme Islami
Nasionalisme santri salah satunya tercermin dari langkah-langkah yang dilakukan oleh KH. Wahab Chasbullah yang mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916.
Organisasi ini membangun madrasah dan menyelenggarakan diskusi politik, ekonomi, sosial dan keagamaan.
Di madrasah yang namanya mencerminkan sebagai upaya melawan penjajah Belanda itu para santri sebelum belajar dimulai secara bersama-sama mendendangkan lagu Yalal Wathan yang belakangan sangat populer.
Dalam lirik lagu Yalal Wathan sangat jelas perihal penanaman nasionalisme kepada para santri, seperti penggalan berikut: Hubbul wathan minal iman, wa latakun minal hirman, inhadhuu ahlal wathan (pusaka hati wahai tanah airku, cintamu dalam imanku, jangan halangkan nasibmu, bangkitlah hai bangsaku).
Dari Nahdlatul Wathan lahirlah Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) yang didirikan oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ary pada 31 Januari 1926.
Kesadaran nasional yang dimiliki NU sangat jelas, mulai dari tuntutan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, memperjuangkan Indonesia melalui parlemen, menentang peraturan produk Belanda, keterlibatan KH. Wahid Hasyim dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Resolusi Jihad, dan yang lainnya.
Nasionalisme yang digelorakan kiai dan santri bukan nasionalisme chauvinis yang merendahkan bangsa-bangsa lain, juga bukan ‘ashabiyyah qaumiyyah yang meninggikan bangsanya sendiri dengan memandang rendah terhadap bangsa lain. Nasionalisme santri adalah mencintai tanah air dengan tetap memandang bangsa-bangsa lainnya sebagai bangsa yang terhormat, atau mencintai bangsanya sendiri tanpa disertai dengan perasaan benci terhadap bangsa lainnya.
Nasionalisme santri yang menjunjung tinggi persamaan manusia (al-musawah) sesuai dengan pesan QS. Al-Hujurat 11 yang melarang orang-orang beriman merendahkan bangsa lain.
Demikian juga selaras dengan pesan Nabi Muhammad SAW dalam Pidato Haji Perpisahan yang menegaskan bahwa semua umat manusia memiliki kehormatan yang sama, orang Arab maupun non Arab, berkulit putih maupun merah semuanya memiliki derajat kemuliaan yang sama. Karena itu nasionalisme santri dapat disebut dengan “nasionalisme islami”, yakni nasionalisme yang berlandaskan pada Al-Quran dan hadis.
Nasionalisme santri juga sesuai dengan nasionalisme yang dianut oleh Ir. Soekarno. Dalam pidatonya di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan, “jangan berkata bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia”.
Petikan pidato Bung Karno di atas sangat jelas sebagaimana nasionalisme yang diusung para kiai dan santri, yakni nasionalisme yang mengandung nilai-nilai persamaan antarumat manusia dan persaudaraan lintas bangsa atau dalam istilah santri ada ukhuwwah wathaniyyah (persaudaan sesama anak bangsa) dan ada ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan antarumat manusia).
Nasionalisme santri atau paham kebangsaan khas Islam Indonesia yang juga dianut Bung Karno dalam lintasan sejarah telah membuktikan keberhasilan para pendahulu dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini serta menjaganya dari perpecahan.
Sangat tidak berlebihan jika nasionalisme santri menjadi bagian dari tema penting di dalam pemikiran politik Islam kontemporer, bahkan sangat perlu diperkenalkan ke berbagai penjuru dunia, terutama negara-negara yang terus dilanda konflik seperti Palestina dan Israel.
Keduanya terus berseteru salah satu faktornya, karena Israel merasa menjadi bangsa pilihan Tuhan yang tertulis di dalam kitab sucinya sehingga menumbuhkan fanatisme yang berlebihan (‘ashabiyyah qaumiyyah), Palestina menjadi bangsa yang terjajah tanpa ada ikatan pemersatu cinta tanah air di dalamnya, yakni hanya mengandalkan solidaritas umat Islam di seluruh penjuru dunia.