Oleh: Dr. Tedi Kholiludin, (Staf Pengajar Pascasarjana Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), Peneliti di Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA).
PADA tahun 2020, Bank Dunia mengeluarkan laporan bertajuk “Aspiring Indonesia” “Expanding the Middle Class.” Pembicaraan mengenai kelas menengah ini dirasa penting karena ada beberapa alasan, termasuk salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi.
Selain dalam dimensi itu, kelas menengah juga mampu memberikan warna dalam aspek sosial dan juga politik, yang efeknya tidak selalu berkaitan dengan sisi pertumbuhan ekonomi, yakni sisi tata Kelola serta kebijakan.
Laporan tersebut mengkategorisasikan kelas konsumen di Indonesia pada lima kelompok; miskin (poor), rentan (vulnerable), menuju kelas menengah (aspiring middle class), kelas menengah (middle class) dan kelas atas (upper class).
Kelas miskin adalah mereka yang angka konsumsinya mencapai 354 ribu per orang tiap bulannya. Jumlah kelompok ini kurang lebih 28 juta orang atau 10,7% dari masyarakat Indonesia. Berikutnya, kelompok rentan. Angka konsumsinya antara 354.000 hingga 532.000 dan jumlahnya 61,6 juta (23,6%).
Kelas “aspiring middle class” mengeluarkan 532.000 hingga 1.2 juta tiap bulannya (114,7 juta orang) sementara kelas menengah menghabiskan 1.2 juta sampai 6 juta (53,6 juta). Jumlah kelas atas berkisar 3.1 juta orang yang mengeluarkan lebih dari 6 juta tiap bulannya.
Kelompok kelas menengah, yang jumlahnya kurang lebih 53 juta tersebut, telah memberikan efek yang luar biasa pada pertumbuhan ekonomi, sehingga memperluas kelompok ini menjadi pekerjaan penting sebagai cara mendorong Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi.
Sementara, di lain elemen, sudah ada hampir 115 juta penduduk yang sedang menuju tangga kelas menengah, meski juga tetap ada risiko kembali ke posisi rentan.
Kelas menengah merupakan sebuah kelompok yang berada di antara kelas atas dan masyarakat pekerja. Sebagian mengirisnya lagi dengan mengkategorisasikannya menjadi menengah atas (middle up) dan menengah bawah (middle low).
Meski kerap dianggap memiliki persoalan sebagai sebuah konsep dalam ilmu sosial, tetapi faktanya apa yang digolongkan sebagai kelas menengah terus mengalami peningkatan. Dari sudut pandang sosial dan mata pencaharian, mereka yang ada di sini terdiri dari akademisi, profesional, pejabat dan lainnya.
Menurut Chatib Basri (2020), kelas menengah atau juga bisa disebut sebagai kelas konsumen baru, merupakan “professional complainer” pengeluh ujung yang sangat gigih mengoreksi kualitas layanan publik.
Meski mungkin awalnya sebatas berbicara di balik layar, bukan tak mungkin, satu waktu, mereka akan mentransformasikan kegelisahannya itu menjadi tindakan yang berenergi politik.
Pertumbuhan kelas menengah ini tentu saja memiliki dampak terhadap pelbagai aspek, termasuk ekspresi keberislaman.
Mengingat sebagian besar dari mereka yang ada di kelas menengah atau sedang menuju kelas menengah itu adalah muslim, maka ada efek dari bertumbuhnya mereka yang ada di level ini.
Ada banyak hal yang menunjukan korelasi antara pertumbuhan kelompok ini serta gaya hidup serta fenomena keberislaman yang terbarukan. Saya akan merujuk pada tiga fenomena umum; gaya hidup serta konsumsi, pendidikan serta kemunculan banyak lembaga filantropi.
Dari sisi gaya hidup serta konsumsi ada kecenderungan menguatnya kesadaran untuk mengalasi aktivitas keseharian dengan nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip islami.
Pada tahun 2023, Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH) Kementerian Agama (Kemenag) menargetkan ada 1 juta produk bersertifikat halal.
Target itu terlampaui bahkan hampir tiga kali lipatnya; sekitar 2,9 juta. Data ini menunjukkan tingginya minat untuk memastikan status kehalalan dari apa yang dikonsumsi. Selain itu, tren untuk menggunakan busana serta performa yang Islami juga menguat.
Sudut lain, dalam dunia pendidikan, memanggungkan fenomena menarik; tumbuhnya berbagai lembaga pendidikan bernuansa Islam bahkan di level yang paling dasar.
Di kota-kota besar, tren memasukkan anak ke sekolah Islami yang berbiaya tinggi bahkan telah menjadi semacam simbol identitas muslim urban (Pribadi, 2022).
Kelas menengah muslim telah menemukan cara baru untuk memadukan nilai-nilai Islami dan hak-hak istimewa ke dalam sebuah sub kelompok baru (Hasanah, et.al., 2022).
Jika ditarik mundur, khususnya era orde baru, munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) merupakan penanda kebangkitan muslim menengah di Indonesia (Rahman, 2018).
Selain dalam aspek pendidikan serta ekonomi, kehadiran ICMI, meski sempat menuai pro dan kontra, telah mengambil posisi penting dalam pembangunan masyarakat Indonesia.
Fenomena berikutnya adalah merebaknya lembaga filantropi bernuansa Islam yang tumbuh pasca-reformasi. Pertumbuhan kelas menengah yang secara ekonomi sudah mapan dan terjamin perlindungan sosialnya, bertaut dengan semangat keberagamaan dan energi filantropi yang meningkat, menjadi alasan menjamurnya berbagai jenis lembaga filantropi.
Tak hanya bertumbuh secara institusi, tetapi dana yang didapatkan oleh lembaga tersebut juga meningkat. Pada tahun 2006, Dompet Dhuafa Republika mengelola dana sejumlah 55,226,587,485.
Angka itu meningkat menjadi 221,000,000,000 pada tahun 2011. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) lembaga pemerintah non struktural yang didirikan pada tahun 2001, mengelola 14,524,094,558 pada 2006 dan meningkat menjadi 40,669,150,841 di tahun 2011 (Fauzia, 2013).
Kelompok kelas menengah muslim di Indoensia pada era reformasi memiliki cara pandang serta karakteristik yang berbeda.
Secara sosial, ada kepercayaan diri untuk menunjukan identitas sebagai seorang muslim. Tak hanya itu memegang prinsip terhadap nilai-nilai agama, mereka juga menapak kuat pada semangat kolektivitas (Jati, 2017).
Dalam pencarian eksistensi yang masih terus mereka lakukan, hal penting yang tak bisa diabaikan adalah kelompok ini potensial memberikan pengaruh serta kontribusi yang besar dalam kerja-kerja pemberdayaan umat.
Jika nilai-nilai luhur agama ditautkan dengan pengelolaan yang bertanggungjawab dan terbuka serta bertumpu pada semangat humanitarianisme, maka kelompok menengah muslim berpotensi menjadi elemen penggerak perubahan.