SEJARAH penanggalan dalam Islam bermula ketika dunia Arab-Islam dipimpin Umar bin Khathab (wafat 644) yang mengajak teman-temannya bermusyawarah untuk menentukan pembuatan tanggal di dalam pemerintahannya. Penanggalan dikamsud adalah yang berbeda dari penanggalan Romawi dan Persi, dua kekuasaan yang sudah lama memiliki peradaban yang sangat mengakar di dalam masyarakat saat itu.
Setelah melalui perdebatan panjang yang diikuti para sahabat Nabi Muhammad, lalu disepakati penanggalan dimulai sejak Nabi Saw hijrah atau berpindah tempat tinggal dan perjuangannya dari Makkah ke Madinah, yakni kedatangan Nabi ke Madinah dihitung sebagai tahun pertama. Sebab penanda hijrah Nabi ini tahun di dalam Islam disebut dengan “hijriyah” yang berarti tahun yang dimulai dari Nabi Muhammad melakukan hijrah.
Begitu juga dengan penentuan Muharram sebagai bulan pertama dalam tahun Islam. Sebelum disepakati, sebagian sahabat Nabi Saw yang terlibat dalam rapat bersama Umar bin Khathab ada yang mengusulkan Ramadan, sebagian yang lain berpendapat Muharram. Kedua bulan ini, Ramadan dan Muharram, merupakan waktu yang dimuliakan masyarakat Arab sejak masa pra Islam hingga setelah Islam datang.
Pada masa pra Islam Ramadan dimuliakan karena orang-orang Makkah melakukan pertapa atau uzlah di daerah dataran tinggi, sedangkan Muharram disucikan karena dalam informasi yang berkembang saat itu orang-orang dulu yang mendapatkan nikmat dan diselamatkan dari marabahaya pada bulan ini, seperti Nabi Musa yang diselamatkan dari kekejaman Firaun. Setelah Islam datang Ramadan disucikan karena di dalamnya Alquran diturunkan, Muharram tetap dimuliakan karena melanjutkan tradisi sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ketika datang ke Madinah dan menjumpai orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal 10 bulan Muharram karena bersyukur atas keselamatan Nabi Musa. Nabi Saw menyampaikan, kita harus ikut serta memuliakannya.
Kendati Ramadan dan Muharram sama-sama bulan yang dimuliakan masyarakat Arab, tetapi bagi Umar bin Khathab dan orang-orang yang bermusyawarah lebih memilih Muharram sebagai bulan pertama dalam tahun hijriyah karena didasarkan pada pesan-pesan kemanusiaan di dalamnya. Dalam bulan Muharram ada kesepakatan di dalam masyarakat yang masih menyelesaikan persoalannya dengan perang itu untuk tidak melakukan perang. Dalam hal ini Muharram menjadi waktu perdamaian. Muharram juga menjadi waktu istimewa yang menandai kesucian diri manusia karena selesai melakukan ibadah haji, sehingga bulan ini mulia karena tak ada pertumpahan darah, suci karena orangorang sudah selesai beribadah haji.
Pilihan permulaan tahun di dalam Islam dengan hijrah Nabi Muhammad tidak lepas dari pandangan kemanusiaan yang dimiliki Umar bin Khathab dan sahabat-sahabat Nabi Saw lainnya. Sebagaimana diinformasikan oleh sejarawan Islam, Ath-Thabari (wawaf 923), bahwa Umar bin Khathab berpandangan dalam hijrah Nabi Muhammad terdapat jurang pemisah antara kebenaran dan kebatilan.
Kebenaran terletak dalam dakwah Nabi Saw yang menyeru kepada umat manusia supaya menjunjung tinggi hak asasi yang dimiliki setiap manusia serta menyerukan kesetaraan, sedangkan kebatilan terletak pada sikap para elite Makkah yang memperbudak manusia, membunuh orang-orang yang dianggap tak berharga seperti anakanak, perempuan dan orang-orang yang dianggapnya musuh lantaran mengganggu kelas sosial, politik dan ekonominya.
Melalui pertimbangan makna nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalam hijrah Nabi Muhammad dan bulan Muharram, Umar bin Khathab memutuskan permulaan tahun di dalam Islam dimulai sejak Nabi Saw hijrah yang secara makna berarti berpindah dari lingkungan yang penuh penindasan ke masyarakat yang dapat diorganisasi untuk melakukan kontrak sosial, yakni Madinah, untuk bersama-sama menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Dalam sejarahnya, setelah Nabi Saw berhasil menciptakan kesepakatan sosial dan politik di Madinah yang sarat dengan nilai kesetaran, Nabi Saw melakukannya di Makkah dan beberapa wilayah lain. (34)